Akhir sebuah Perjalanan Panjang…
Hari itu, Rabu, 11 Juli 2001. Siswa-siswa terbaik utusan kabupaten/kota di seantero Jawa Barat beruntun berdatangan ke Asrama Yayasan Darmaloka. Paling tidak, kami merupakan para siswa yang memiliki NEM di atas 40,00. Memang kami datang ke Asrama tidak bareng, ada yang datang hari Selasa, Kamis, bahkan ketika MOSA (Masa Orientasi Siswa Asrama) berlangsung. Siswa pertama yang datang ke Asrama ini adalah Sanusi, perwakilan Majalengka. Sedang utusan terakhir yang tiba di sini adalah para siswa dari Indramayu, hari Minggu setelah MOSA. Maka pada saat itu, jadilah kami sebagai siswa Asrama Yayasan Darmaloka Angkatan ketujuh.
Kali pertama terbentuknya Angkatan Tujuh, terkumpullah 76 siswa terbaik se-Jawa Barat. Tetapi setelah MOSA (kami menyebutnya masa penggojlokan di Kawah Candradimuka), ada 4 siswa mengundurkan diri. Mereka adalah Indi Mahdi, Amropah, Iwa K dan Kusnandar. Maka, dengan komposisi 72 orang kami mengarungi liku-liku kehidupan Asrama. Sesuatu yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Jauh dari keluarga dan tempat tinggal. Angkatan Tujuh mulai melangkah menapaki kehidupan berasrama dengan kesan yang indah. Ketika itu Bapak Pembina tepatnya Kapten (Purn.) H. Suryana Bastia menyatakan kebanggaannya kepada kami, Angkatan Tujuh. Karena ketika MOSA Angkatan Tujuh menunjukan kedisiplinan dan kekompakan yang luar biasa. Bahkan Bapak pembina berani memprediksi bahwa Angkatan Tujuh akan menjadi angkatan yang terbaik dan bisa membawa perubahan besar di Asrama.
Dan……Kebanggaan itu benar-benar terbukti. Angkatan Tujuh ternyata mempunyai segudang potensi dan bakat-bakat yang dapat dibanggakan. Ini juga ditopang dengan jumlah siswa yang banyak. Maka tidak heran jika ada anggapan Angkatan Tujuh sebagai angkatan kompleks. Belum genap dua bulan, Angkatan Tujuh sudah mempunyai tim bola voli dan sepak bola yang tangguh dan tak tertandingi pada masa itu. Juara Ligama (Liga Asrama) kami genggam. Bahkan tim ini sudah menjadi langganan masyarakat setempat untuk bertanding.
Selain itu, Angkatan Tujuh mencetak berbagai prestasi. Di antaranya, Juara I & III Olimpiade Komputer (Aries F), Juara II Story Telling (A. Latief J), Juara II Speech Contest (Saeful Anwar B), Juara II Quiz Contest UPI Bandung (Sanusi dan Saeful B.), Juara II Pidato se-Jawa Barat (Saprudin), Juara I Olimpiade Biologi (Burhanuddin), dan Juara I Siswa Teladan se-Kab.Bandung (Rhandy P.A.). Belum lagi Irfan Nurohim dan Agus Ghautsun yang sering jadi langganan juara Qiro’at dan Muadzin. Dan tidak hanya itu, masih banyak prestasi-prestasi Angkatan Tujuh lain yang membanggakan.
Di bidang olahraga tercatat nama Irvan Septian Z yang menggondol berbagai kejuaraan, mulai bidang atletik (Lari) sampai sepak bola, di antaranya Juara I & III Porkab, Juara II Porsenida, Juara II Tingkat Provinsi. Dan Dadi Permadi pun mencatatkan prestasinya di bidang olahraga tolak peluru.
Selain bakat dan prestasi di atas, Angkatan Tujuh juga mempunyai segudang bakat yang tetap eksis dan diakui. Ada pemusik, pelukis yang handal, ahli seni, debat hingga tukang ngabodor yang semuanya mempunyai keunikan tersendiri dan mewarnai Angkatan Tujuh.
Seiring perubahan waktu, Angkatan Tujuh pun mengalami berbagai perubahan. Ketika kelas I Angkatan Tujuh pernah dipimpin oleh dua orang ketua yaitu Sahid Santoso dan Ihsan Fauzan. Selesai Cawu satu, Fajar Iman, Deki Manpaluti dan Rian pindah sekolah. Dengan berat hati pula kami harus kehilangan tiga orang teman. Tak pelak lagi, komposisi Angkatan Tujuh kembali berubah.
Identitas pribadi pun mulai tampak pada Angkatan Tujuh. Berbagai pengalaman mengesankan terjadi ketika kami kelas satu. Entah itu karena kepolosan atau sikap kami yang terlalu berani, kami pernah mengadakan demo makan, karena sajian menu yang kurang ‘berkenan’. Kemudian menolak pelantikan pramuka yang diadakan kakak kelas kami dengan mengumpulkan tanda tangan “tak mau”. Sehingga berakibat suatu insiden yang kami sebut sebagai tragedi Mei dan tragedi Texmaco. Sampai-sampai karena ulah kami yang “balangor”, ketua umum pada waktu itu, Kang Kurnami, mengundurkan diri. Dan kami pun sempat “berdiskusi” dengan Pak Usep yang waktu itu menjabat sebagai kepala TU di Asrama kelas satu mengenai suatu hal “klasik”. Tapi di atas itu semua, sekali lagi kakak kelas kami tetap mengakui kekompakan dan kekritisan Angkatan Tujuh, walaupun dalam sudut pandang berbed
Menginjak kelas dua, kami mulai membuka lembaran baru. Maklum ketika itu kami sudah di panggil “akang” oleh kelas satu, dan kepengurusan OPA pun mulai dipegang oleh Angkatan Tujuh yang menobatkan saudara Jamaludin Al-Afgani sebagai ketua umum terpilih. Namun sayang, kami harus kehilangan bapak pembina yang kami cintai yaitu bapak Kadenun Hasan yang ‘dicoret’ dari jajaran pembina Asrama dengan alasan yang tidak kami ketahui. Menyusul pula Dede Koswara dan Kusnadi Sobari mengundurkan diri dari Asrama. Maka dengan jumlah 67 orang kami mulai menempuh perjalanan hidup sebagai kakak kelas, suatu pilihan hidup di Asrama yang menuntut kami untuk bertindak dan bersikap lebih dewasa dan menjadi teladan. Tapi rupanya, pilihan itu ‘menarik’ diri kami untuk terlibat beberapa sengketa dengan kakak kelas kami angkatan enam waktu itu. Kami menyebutnya insiden ruang makan.
Tahun ketiga di Asrama kami lakoni dengan aturan yang tidak begitu ketat. Pembina pun ‘agaknya’ memakluminya karena kami sudah kelas tiga. Tapi hal itu tidaklah begitu aneh bagi kami Angkatan Tujuh. Dan karena kelonggaran itulah kami dapat berinteraksi semakin akrab dengan masyarakat. Pada masa itu pula, Angkatan Tujuh berusaha merapatkan dan merekatkan kembali kebersamaan dan kekompakan yang mulai pudar seiring bergulirnya sang waktu.
Detik-detik terakhir tinggal di Asrama kami lalui dengan suka cita. Berat bagi Angkatan Tujuh untuk berpisah. Tapi walaupun begitu perpisahan tidak dapat dielakkan karena bagaimanapun juga kami masih mempunyai segudang harapan dan cita-cita untuk menyongsong masa depan. Puncak dari itu semua, Angkatan Tujuh mengadakan acara makan bersama dan maaf-maafan setelah UAN. Pengalaman yang mengharukan bagi kami karena pada saat itu pula kami berikrar untuk menjadi saudara dan saling mengikhlaskan. Ditambah pula dengan teman kami Sani Mogalana yang ‘kesurupan’ dan membuat kami sedikit panik.
Satu hal yang paling fenomenal bagi kami Angkatan Tujuh adalah julukan “Angkuh”. Sebutan itu diabadikan oleh kami Angkatan Tujuh karena setiap kali bapak pembina marah, beliau selalu menyebut kami orang-orang yang ‘angkuh’ dan sombong. Jadilah angkuh itu plesetan dari Angkatan Tujuh.
Memang banyak sorotan yang tidak berkenan bagi Angkuh. Tapi dibalik itu semua, Angkuh tetap menjadi pembaharu bagi Asrama dengan ide-ide kreatifnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk mengukir sebuah kenangan dan bukan pula waktu yang sebentar untuk mengenal arti hidup. Angkuh selalu berusaha untuk menjadi kebanggaan semua.
Angkuh telah menorehkan catatan indah di Asrama dalam perjalanan panjangnya. Dan akhir dari sebuah perjalanan panjang itu kini telah tiba.
taken from www.rakyat-angkuh.com
1 comment:
pundits plagiarism quasilinear cote ovid conglomerate csun lucknow sensor mouth oushadha
lolikneri havaqatsu
Post a Comment