Setiap mahluk hidup pasti mati. Ini aksioma kehidupan yang diakui di Barat maupun Timur. Untuk mengetahui kadar kehidupan seseorang dan kadar ketahanan hidup mahluk hidup tidak memerlukan kecerdasan tinggi. Anak-anak juga tahu bahwa mati adalah sesuatu yang dialami orang atau mahluk hidup.
Hanya setiap orang sering alpa bahwa kematian senantiasa mengintai, bahwa batas waktu kita hidup di dunia sama sekali tidak diketahui.
Orang yang memiliki kesadaran akan batas-batas dalam kehidupan itulah yang disebut Rasullullah orang cerdas atau orang jenius.
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi)
Maukah kita disebut orang jenius? Siapapun itu manusia sangat gembira kalau digolongkan orang yang memilki kecerdasan tinggi.
Dengan prinsip ini maka sadar akan waktu terakhir kehidupan di dunia ini menjadi bagian dari kecerdasan yang esensial dalam kehidupan. Sejarah telah mengajarkan Firaun yang mengaku Tuhan pun dan yang memerintahkan pembunuhan semua bayi laki-laki, akhirnya menelan kematian. Jejaknya bisa kita baca dan muminya bisa kita saksikan di Mesir.
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al-Jumu’ah 8)
Peringatan ini mengharuskan kita senantiasa dalam keadaan sadar apakah sedang sibuk atau tidak, apakah mau tidur atau baru terbangun. Apakah sedang gembira atau sedih.
Semuanya diukur oleh kesadaran akan kematian.
dikutip dari sini
28 August 2008
20 August 2008
The Story about where i come from
Akhir sebuah Perjalanan Panjang…
Hari itu, Rabu, 11 Juli 2001. Siswa-siswa terbaik utusan kabupaten/kota di seantero Jawa Barat beruntun berdatangan ke Asrama Yayasan Darmaloka. Paling tidak, kami merupakan para siswa yang memiliki NEM di atas 40,00. Memang kami datang ke Asrama tidak bareng, ada yang datang hari Selasa, Kamis, bahkan ketika MOSA (Masa Orientasi Siswa Asrama) berlangsung. Siswa pertama yang datang ke Asrama ini adalah Sanusi, perwakilan Majalengka. Sedang utusan terakhir yang tiba di sini adalah para siswa dari Indramayu, hari Minggu setelah MOSA. Maka pada saat itu, jadilah kami sebagai siswa Asrama Yayasan Darmaloka Angkatan ketujuh.
Kali pertama terbentuknya Angkatan Tujuh, terkumpullah 76 siswa terbaik se-Jawa Barat. Tetapi setelah MOSA (kami menyebutnya masa penggojlokan di Kawah Candradimuka), ada 4 siswa mengundurkan diri. Mereka adalah Indi Mahdi, Amropah, Iwa K dan Kusnandar. Maka, dengan komposisi 72 orang kami mengarungi liku-liku kehidupan Asrama. Sesuatu yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Jauh dari keluarga dan tempat tinggal. Angkatan Tujuh mulai melangkah menapaki kehidupan berasrama dengan kesan yang indah. Ketika itu Bapak Pembina tepatnya Kapten (Purn.) H. Suryana Bastia menyatakan kebanggaannya kepada kami, Angkatan Tujuh. Karena ketika MOSA Angkatan Tujuh menunjukan kedisiplinan dan kekompakan yang luar biasa. Bahkan Bapak pembina berani memprediksi bahwa Angkatan Tujuh akan menjadi angkatan yang terbaik dan bisa membawa perubahan besar di Asrama.
Dan……Kebanggaan itu benar-benar terbukti. Angkatan Tujuh ternyata mempunyai segudang potensi dan bakat-bakat yang dapat dibanggakan. Ini juga ditopang dengan jumlah siswa yang banyak. Maka tidak heran jika ada anggapan Angkatan Tujuh sebagai angkatan kompleks. Belum genap dua bulan, Angkatan Tujuh sudah mempunyai tim bola voli dan sepak bola yang tangguh dan tak tertandingi pada masa itu. Juara Ligama (Liga Asrama) kami genggam. Bahkan tim ini sudah menjadi langganan masyarakat setempat untuk bertanding.
Selain itu, Angkatan Tujuh mencetak berbagai prestasi. Di antaranya, Juara I & III Olimpiade Komputer (Aries F), Juara II Story Telling (A. Latief J), Juara II Speech Contest (Saeful Anwar B), Juara II Quiz Contest UPI Bandung (Sanusi dan Saeful B.), Juara II Pidato se-Jawa Barat (Saprudin), Juara I Olimpiade Biologi (Burhanuddin), dan Juara I Siswa Teladan se-Kab.Bandung (Rhandy P.A.). Belum lagi Irfan Nurohim dan Agus Ghautsun yang sering jadi langganan juara Qiro’at dan Muadzin. Dan tidak hanya itu, masih banyak prestasi-prestasi Angkatan Tujuh lain yang membanggakan.
Di bidang olahraga tercatat nama Irvan Septian Z yang menggondol berbagai kejuaraan, mulai bidang atletik (Lari) sampai sepak bola, di antaranya Juara I & III Porkab, Juara II Porsenida, Juara II Tingkat Provinsi. Dan Dadi Permadi pun mencatatkan prestasinya di bidang olahraga tolak peluru.
Selain bakat dan prestasi di atas, Angkatan Tujuh juga mempunyai segudang bakat yang tetap eksis dan diakui. Ada pemusik, pelukis yang handal, ahli seni, debat hingga tukang ngabodor yang semuanya mempunyai keunikan tersendiri dan mewarnai Angkatan Tujuh.
Seiring perubahan waktu, Angkatan Tujuh pun mengalami berbagai perubahan. Ketika kelas I Angkatan Tujuh pernah dipimpin oleh dua orang ketua yaitu Sahid Santoso dan Ihsan Fauzan. Selesai Cawu satu, Fajar Iman, Deki Manpaluti dan Rian pindah sekolah. Dengan berat hati pula kami harus kehilangan tiga orang teman. Tak pelak lagi, komposisi Angkatan Tujuh kembali berubah.
Identitas pribadi pun mulai tampak pada Angkatan Tujuh. Berbagai pengalaman mengesankan terjadi ketika kami kelas satu. Entah itu karena kepolosan atau sikap kami yang terlalu berani, kami pernah mengadakan demo makan, karena sajian menu yang kurang ‘berkenan’. Kemudian menolak pelantikan pramuka yang diadakan kakak kelas kami dengan mengumpulkan tanda tangan “tak mau”. Sehingga berakibat suatu insiden yang kami sebut sebagai tragedi Mei dan tragedi Texmaco. Sampai-sampai karena ulah kami yang “balangor”, ketua umum pada waktu itu, Kang Kurnami, mengundurkan diri. Dan kami pun sempat “berdiskusi” dengan Pak Usep yang waktu itu menjabat sebagai kepala TU di Asrama kelas satu mengenai suatu hal “klasik”. Tapi di atas itu semua, sekali lagi kakak kelas kami tetap mengakui kekompakan dan kekritisan Angkatan Tujuh, walaupun dalam sudut pandang berbed
Menginjak kelas dua, kami mulai membuka lembaran baru. Maklum ketika itu kami sudah di panggil “akang” oleh kelas satu, dan kepengurusan OPA pun mulai dipegang oleh Angkatan Tujuh yang menobatkan saudara Jamaludin Al-Afgani sebagai ketua umum terpilih. Namun sayang, kami harus kehilangan bapak pembina yang kami cintai yaitu bapak Kadenun Hasan yang ‘dicoret’ dari jajaran pembina Asrama dengan alasan yang tidak kami ketahui. Menyusul pula Dede Koswara dan Kusnadi Sobari mengundurkan diri dari Asrama. Maka dengan jumlah 67 orang kami mulai menempuh perjalanan hidup sebagai kakak kelas, suatu pilihan hidup di Asrama yang menuntut kami untuk bertindak dan bersikap lebih dewasa dan menjadi teladan. Tapi rupanya, pilihan itu ‘menarik’ diri kami untuk terlibat beberapa sengketa dengan kakak kelas kami angkatan enam waktu itu. Kami menyebutnya insiden ruang makan.
Tahun ketiga di Asrama kami lakoni dengan aturan yang tidak begitu ketat. Pembina pun ‘agaknya’ memakluminya karena kami sudah kelas tiga. Tapi hal itu tidaklah begitu aneh bagi kami Angkatan Tujuh. Dan karena kelonggaran itulah kami dapat berinteraksi semakin akrab dengan masyarakat. Pada masa itu pula, Angkatan Tujuh berusaha merapatkan dan merekatkan kembali kebersamaan dan kekompakan yang mulai pudar seiring bergulirnya sang waktu.
Detik-detik terakhir tinggal di Asrama kami lalui dengan suka cita. Berat bagi Angkatan Tujuh untuk berpisah. Tapi walaupun begitu perpisahan tidak dapat dielakkan karena bagaimanapun juga kami masih mempunyai segudang harapan dan cita-cita untuk menyongsong masa depan. Puncak dari itu semua, Angkatan Tujuh mengadakan acara makan bersama dan maaf-maafan setelah UAN. Pengalaman yang mengharukan bagi kami karena pada saat itu pula kami berikrar untuk menjadi saudara dan saling mengikhlaskan. Ditambah pula dengan teman kami Sani Mogalana yang ‘kesurupan’ dan membuat kami sedikit panik.
Satu hal yang paling fenomenal bagi kami Angkatan Tujuh adalah julukan “Angkuh”. Sebutan itu diabadikan oleh kami Angkatan Tujuh karena setiap kali bapak pembina marah, beliau selalu menyebut kami orang-orang yang ‘angkuh’ dan sombong. Jadilah angkuh itu plesetan dari Angkatan Tujuh.
Memang banyak sorotan yang tidak berkenan bagi Angkuh. Tapi dibalik itu semua, Angkuh tetap menjadi pembaharu bagi Asrama dengan ide-ide kreatifnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk mengukir sebuah kenangan dan bukan pula waktu yang sebentar untuk mengenal arti hidup. Angkuh selalu berusaha untuk menjadi kebanggaan semua.
Angkuh telah menorehkan catatan indah di Asrama dalam perjalanan panjangnya. Dan akhir dari sebuah perjalanan panjang itu kini telah tiba.
taken from www.rakyat-angkuh.com
Hari itu, Rabu, 11 Juli 2001. Siswa-siswa terbaik utusan kabupaten/kota di seantero Jawa Barat beruntun berdatangan ke Asrama Yayasan Darmaloka. Paling tidak, kami merupakan para siswa yang memiliki NEM di atas 40,00. Memang kami datang ke Asrama tidak bareng, ada yang datang hari Selasa, Kamis, bahkan ketika MOSA (Masa Orientasi Siswa Asrama) berlangsung. Siswa pertama yang datang ke Asrama ini adalah Sanusi, perwakilan Majalengka. Sedang utusan terakhir yang tiba di sini adalah para siswa dari Indramayu, hari Minggu setelah MOSA. Maka pada saat itu, jadilah kami sebagai siswa Asrama Yayasan Darmaloka Angkatan ketujuh.
Kali pertama terbentuknya Angkatan Tujuh, terkumpullah 76 siswa terbaik se-Jawa Barat. Tetapi setelah MOSA (kami menyebutnya masa penggojlokan di Kawah Candradimuka), ada 4 siswa mengundurkan diri. Mereka adalah Indi Mahdi, Amropah, Iwa K dan Kusnandar. Maka, dengan komposisi 72 orang kami mengarungi liku-liku kehidupan Asrama. Sesuatu yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Jauh dari keluarga dan tempat tinggal. Angkatan Tujuh mulai melangkah menapaki kehidupan berasrama dengan kesan yang indah. Ketika itu Bapak Pembina tepatnya Kapten (Purn.) H. Suryana Bastia menyatakan kebanggaannya kepada kami, Angkatan Tujuh. Karena ketika MOSA Angkatan Tujuh menunjukan kedisiplinan dan kekompakan yang luar biasa. Bahkan Bapak pembina berani memprediksi bahwa Angkatan Tujuh akan menjadi angkatan yang terbaik dan bisa membawa perubahan besar di Asrama.
Dan……Kebanggaan itu benar-benar terbukti. Angkatan Tujuh ternyata mempunyai segudang potensi dan bakat-bakat yang dapat dibanggakan. Ini juga ditopang dengan jumlah siswa yang banyak. Maka tidak heran jika ada anggapan Angkatan Tujuh sebagai angkatan kompleks. Belum genap dua bulan, Angkatan Tujuh sudah mempunyai tim bola voli dan sepak bola yang tangguh dan tak tertandingi pada masa itu. Juara Ligama (Liga Asrama) kami genggam. Bahkan tim ini sudah menjadi langganan masyarakat setempat untuk bertanding.
Selain itu, Angkatan Tujuh mencetak berbagai prestasi. Di antaranya, Juara I & III Olimpiade Komputer (Aries F), Juara II Story Telling (A. Latief J), Juara II Speech Contest (Saeful Anwar B), Juara II Quiz Contest UPI Bandung (Sanusi dan Saeful B.), Juara II Pidato se-Jawa Barat (Saprudin), Juara I Olimpiade Biologi (Burhanuddin), dan Juara I Siswa Teladan se-Kab.Bandung (Rhandy P.A.). Belum lagi Irfan Nurohim dan Agus Ghautsun yang sering jadi langganan juara Qiro’at dan Muadzin. Dan tidak hanya itu, masih banyak prestasi-prestasi Angkatan Tujuh lain yang membanggakan.
Di bidang olahraga tercatat nama Irvan Septian Z yang menggondol berbagai kejuaraan, mulai bidang atletik (Lari) sampai sepak bola, di antaranya Juara I & III Porkab, Juara II Porsenida, Juara II Tingkat Provinsi. Dan Dadi Permadi pun mencatatkan prestasinya di bidang olahraga tolak peluru.
Selain bakat dan prestasi di atas, Angkatan Tujuh juga mempunyai segudang bakat yang tetap eksis dan diakui. Ada pemusik, pelukis yang handal, ahli seni, debat hingga tukang ngabodor yang semuanya mempunyai keunikan tersendiri dan mewarnai Angkatan Tujuh.
Seiring perubahan waktu, Angkatan Tujuh pun mengalami berbagai perubahan. Ketika kelas I Angkatan Tujuh pernah dipimpin oleh dua orang ketua yaitu Sahid Santoso dan Ihsan Fauzan. Selesai Cawu satu, Fajar Iman, Deki Manpaluti dan Rian pindah sekolah. Dengan berat hati pula kami harus kehilangan tiga orang teman. Tak pelak lagi, komposisi Angkatan Tujuh kembali berubah.
Identitas pribadi pun mulai tampak pada Angkatan Tujuh. Berbagai pengalaman mengesankan terjadi ketika kami kelas satu. Entah itu karena kepolosan atau sikap kami yang terlalu berani, kami pernah mengadakan demo makan, karena sajian menu yang kurang ‘berkenan’. Kemudian menolak pelantikan pramuka yang diadakan kakak kelas kami dengan mengumpulkan tanda tangan “tak mau”. Sehingga berakibat suatu insiden yang kami sebut sebagai tragedi Mei dan tragedi Texmaco. Sampai-sampai karena ulah kami yang “balangor”, ketua umum pada waktu itu, Kang Kurnami, mengundurkan diri. Dan kami pun sempat “berdiskusi” dengan Pak Usep yang waktu itu menjabat sebagai kepala TU di Asrama kelas satu mengenai suatu hal “klasik”. Tapi di atas itu semua, sekali lagi kakak kelas kami tetap mengakui kekompakan dan kekritisan Angkatan Tujuh, walaupun dalam sudut pandang berbed
Menginjak kelas dua, kami mulai membuka lembaran baru. Maklum ketika itu kami sudah di panggil “akang” oleh kelas satu, dan kepengurusan OPA pun mulai dipegang oleh Angkatan Tujuh yang menobatkan saudara Jamaludin Al-Afgani sebagai ketua umum terpilih. Namun sayang, kami harus kehilangan bapak pembina yang kami cintai yaitu bapak Kadenun Hasan yang ‘dicoret’ dari jajaran pembina Asrama dengan alasan yang tidak kami ketahui. Menyusul pula Dede Koswara dan Kusnadi Sobari mengundurkan diri dari Asrama. Maka dengan jumlah 67 orang kami mulai menempuh perjalanan hidup sebagai kakak kelas, suatu pilihan hidup di Asrama yang menuntut kami untuk bertindak dan bersikap lebih dewasa dan menjadi teladan. Tapi rupanya, pilihan itu ‘menarik’ diri kami untuk terlibat beberapa sengketa dengan kakak kelas kami angkatan enam waktu itu. Kami menyebutnya insiden ruang makan.
Tahun ketiga di Asrama kami lakoni dengan aturan yang tidak begitu ketat. Pembina pun ‘agaknya’ memakluminya karena kami sudah kelas tiga. Tapi hal itu tidaklah begitu aneh bagi kami Angkatan Tujuh. Dan karena kelonggaran itulah kami dapat berinteraksi semakin akrab dengan masyarakat. Pada masa itu pula, Angkatan Tujuh berusaha merapatkan dan merekatkan kembali kebersamaan dan kekompakan yang mulai pudar seiring bergulirnya sang waktu.
Detik-detik terakhir tinggal di Asrama kami lalui dengan suka cita. Berat bagi Angkatan Tujuh untuk berpisah. Tapi walaupun begitu perpisahan tidak dapat dielakkan karena bagaimanapun juga kami masih mempunyai segudang harapan dan cita-cita untuk menyongsong masa depan. Puncak dari itu semua, Angkatan Tujuh mengadakan acara makan bersama dan maaf-maafan setelah UAN. Pengalaman yang mengharukan bagi kami karena pada saat itu pula kami berikrar untuk menjadi saudara dan saling mengikhlaskan. Ditambah pula dengan teman kami Sani Mogalana yang ‘kesurupan’ dan membuat kami sedikit panik.
Satu hal yang paling fenomenal bagi kami Angkatan Tujuh adalah julukan “Angkuh”. Sebutan itu diabadikan oleh kami Angkatan Tujuh karena setiap kali bapak pembina marah, beliau selalu menyebut kami orang-orang yang ‘angkuh’ dan sombong. Jadilah angkuh itu plesetan dari Angkatan Tujuh.
Memang banyak sorotan yang tidak berkenan bagi Angkuh. Tapi dibalik itu semua, Angkuh tetap menjadi pembaharu bagi Asrama dengan ide-ide kreatifnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk mengukir sebuah kenangan dan bukan pula waktu yang sebentar untuk mengenal arti hidup. Angkuh selalu berusaha untuk menjadi kebanggaan semua.
Angkuh telah menorehkan catatan indah di Asrama dalam perjalanan panjangnya. Dan akhir dari sebuah perjalanan panjang itu kini telah tiba.
taken from www.rakyat-angkuh.com
05 August 2008
Pengemis Buta dan Rasulullah SAW
Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.
Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?"
Aisyah RA menjawab,Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja. "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana", kata Aisyah RA.
Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?" Abubakar RA menjawab,"Aku orang yang biasa"(mendatangi engkau).
"Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku" ,bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku" ,pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,"Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW."
Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia...."
Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.
Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW?
Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq.
Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya.
Sadaqah Jariah salah satu dari nya mudah dilakukan, pahalanya?
MasyaAllah.. ..macam meter taxi...jalan terus.
Sadaqah Jariah - Kebajikan yang tak berakhir.
1. Berikan al-Quran pada seseorang, dan setiap dibaca, Anda mendapatkan hasanah.
2. Sumbangkan kursi roda ke RS dan setiap orang sakit menggunakannya, Anda dapat hasanah.
4. Bantu pendidikan seorang anak.
5. Ajarkan seseorang sebuah do'a. Pada setiap bacaan do'a itu, Anda dapat hasanah.
6. Bagi CD Quran atau Do'a.
7. Terlibat dalam pembangunan sebuah mesjid.
8. Tempatkan pendingin air di tempat umum.
9. Tanam sebuah pohon. Setiap seseorang atau binatang berlindung dibawahnya, Anda dapat hasanah.
Aminnnnnn...
Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?"
Aisyah RA menjawab,Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja. "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana", kata Aisyah RA.
Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?" Abubakar RA menjawab,"Aku orang yang biasa"(mendatangi engkau).
"Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku" ,bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku" ,pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,"Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW."
Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia...."
Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.
Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW?
Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq.
Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya.
Sadaqah Jariah salah satu dari nya mudah dilakukan, pahalanya?
MasyaAllah.. ..macam meter taxi...jalan terus.
Sadaqah Jariah - Kebajikan yang tak berakhir.
1. Berikan al-Quran pada seseorang, dan setiap dibaca, Anda mendapatkan hasanah.
2. Sumbangkan kursi roda ke RS dan setiap orang sakit menggunakannya, Anda dapat hasanah.
4. Bantu pendidikan seorang anak.
5. Ajarkan seseorang sebuah do'a. Pada setiap bacaan do'a itu, Anda dapat hasanah.
6. Bagi CD Quran atau Do'a.
7. Terlibat dalam pembangunan sebuah mesjid.
8. Tempatkan pendingin air di tempat umum.
9. Tanam sebuah pohon. Setiap seseorang atau binatang berlindung dibawahnya, Anda dapat hasanah.
Aminnnnnn...
Subscribe to:
Posts (Atom)