Musuh Yang Berenang Di Air Tenang
Oleh: Muhammad Nuh
Seorang mukmin hidupnya kadang mirip peladang. Tak pernah lelah membuka lahan, menanam benih, merawat, menjaga, dan akhirnya menikmati indahnya tanaman yang mulai berbuah. Tapi, jangan pernah menanggalkan parang. Karena dalam kebun juga ada ular, babi hutan, dan anjing liar.
Keimanan merupakan anugerah Allah yang begitu mahal. Hidup yang keras bisa terlalui dengan tenang, nyaman, dan penuh harapan. Sesulit apa pun kehidupan seorang mukmin, ia tetap punya harapan hari esok yang sangat membahagiakan.
Namun, bukanlah iman yang tanpa ujian. Iman bukan sebuah jaminan kalau seorang anak manusia bisa hidup tanpa gangguan. Bukan seperti tiket busway yang bisa memberi jaminan bebas macet di saat padatnya lalu lintas kota. Justru, kian melekat nilai keimanan pada diri seseorang, semakin banyak cobaan dan gangguan.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Seorang mukmin mungkin bisa tahan dengan duri-duri jalan hidup. Sabar dan terus istiqamah. Tapi, akan beda jika tusukan tidak lagi sekecil duri. Melainkan, sudah berbentuk belati dan pedang.
Ujian ternyata tidak cuma berhenti pada konflik internal diri. Tidak berhenti pada berkecamuknya perang antara tuntutan naluri insani dengan pagar keimanan. Lebih dari itu. Ada musuh-musuh yang senantiasa mengintai. Siang dan malam. Di saat damai, apalagi perang.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)
Setidaknya, ada tiga kelompok musuh yang kerap mengganggu keteguhan seorang yang beriman. Pertama, musuh bebuyutan Islam. Dikatakan bebuyutan karena permusuhan ini turun temurun. Terwarisi dari generasi ke generasi. Mereka tidak akan pernah senang hingga orang-orang beriman pindah keyakinan.
Tergolong dalam kelompok ini adalah Yahudi dan Nasrani. Permusuhannya bersifat laten dan abadi. Itulah firman Allah swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 120. “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.“
Ada dengki abadi yang sulit disembuhkan. Ada semacam gugatan kepada Allah yang dilampiaskan ke umat Islam. Mereka menggugat, kenapa kenabian terakhir jatuh ke orang Arab. Bukan Bani Israil seperti yang selama ini berlangsung. “Sebagian Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.…” (Al-Baqarah: 109)
Segala hal mereka lakukan. Mulai dari yang terlihat damai, hingga langsung berupa peperangan. Para pemikir sesat, dari yang berjenis Salman Rusdi hingga yang shalat dua bahasa, selalu terkait dengan sepak terjang Yahudi dan Nasrani beserta jaringannya. Semua itu punya sasaran tembak khusus. Apalagi kalau bukan menggoyahkan keimanan umat Islam.
Kelompok musuh kedua adalah mereka yang punya kepentingan. Kelompok ini agak lebih unik. Mereka heterogen. Bisa datang dari mana pun. Tidak terang-terangan dan konsisten memusuhi umat Islam. Tidak juga turun temurun seperti permusuhan Yahudi dan Nasrani. Tapi, lebih karena perbedaan kepentingan.
Biasanya, yang masuk dalam kelompok ini adalah para pelaku maksiat: koruptor, pezina, dukun, dan mereka yang tak punya agama. Masuk juga mereka yang mengambil untung dari bisnis maksiat.
Hal itulah yang pernah dialami kaum Nabi Luth. Mereka mengusir dan memusuhi Luth dan pengikutnya bukan karena soal keyakinan. Melainkan, soal kepentingan. “Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” (Al-A’raf: 82)
Jadi, jangan pernah menganggap kalau ingin hidup bersih tidak mengundang musuh. Terlebih jika bersih dalam cakupan besar: masyarakat dan negara. Tentu ini akan mengancam kepentingan kekuatan kotor di lingkungan yang sama. Dan tak ada langkah lain buat mereka kecuali memusuhi.
Andai umat Islam seperti peladang. Tentu, indahnya suasana damai tidak lantas memutus urat kewaspadaan. Itulah mungkin, kenapa para peladang tidak akan menanggalkan parang.
Sumber: dakwatuna, 29/5/2008 | 24 Jumadil Awal 1429 H